Negara kerajaan kediri
4. kerajaan kediri
awal kerajaan kediri
Kerajaan Kediri adalah pecahan kerajaan Airlangga. pada akhir pemerintahannya, Airlangga kesulitan menunjuk penggantinya. hal ini disebabkan putri mahkota Sanggramawijaya menolak menjadi raja dan lebih memilih menjadi petapa. Kerajaan yang
satunya adalah kerajaan Jenggala. Kedua kerajaan tersebut saling berebut
tahta kekuasaan hingga terjadi perang. Perang itu memakan waktu yang
cukup lama sehingga menenggelamkan kedua kerajaan tersebut. Baru pada
tahun 1117 M kerajaan Kediri muncul kembali.
Letak kerajaan kediri
Letak kerajaan kediri berada di sebelah selatan sungai Brantas
Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri
raja pertama yang muncul dalam pentas sejarah setelah masa Airlangga
ialah Sri Jayawarsa dengan prasastinya yang berangka tahun 1104 M.
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian
kekuasaan, Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah dan
berkuasa di Kerajaan Kediri:
a). Raja Jayabaya ( 1135-1157 M )
Raja ini merupakan raja Kediri yang paling terkenal. Dalam masa
pemerintahnnya telah diubah sebuah kitab oleh Mpu Sedah dengan nama
Kakawin Baratayudha. Sebelum kitap ini selesai Mpu Sedah meninggal dan
karyanya dilanjutkan oleh Mpu Panuluh hingga selesai. Kitab lain yang di
buat oleh Mpu Panuluh adalah kitab Gatotkacasraya dan kitab Hariwangsa.
Jayabaya merupakan raja kediri ketiga yang digelari Sri Maharaja Sri
Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama
Shri Gandra. Raja Kediri paling tersohor adalah Prabu Jayabaya. Dibawah
pemerintahannya Kediri berhasil mencapai kejayaan. Keahlian sebagai
pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan
ramalan-ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab
yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari
Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung.
Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan telah menjadikan prabu
Jayabaya layak untuk dikenang.
b). Prabu Sarwaswera
Prabu Sarwaswera dikenal sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya.
Prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya
Dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau. Tujuan
hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa,
yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah
sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi
kesatuan adalah tidak benar.
c). Prabu Kroncharyadipa
Namanya yang memiliki arti benteng kebenaran, sang prabu memang
senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang
taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip sad kama
murka, yaitu enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu antara lain
kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu), loba (rakus),
mada (mabuk), masarya (iri hati).
d). Srengga Kertajaya
Srengga Kertajaya dikenal sebagai seorang prabu yang tak henti-hentinya
bekerja keras demi bangsa dan negaranya. Masyarakat yang aman dan
tentram sangat diharapkan olehnya. Prinsip kesucian prabu Srengga
menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
e). Pemerintahan Kertajaya
Kertajaya merupakan raja terakhir pada masa Kerajaan Kediri. Kertajaya
adalah raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyatnya. Kertajaya
dikenal dengan catur marganya yang memiliki arti empat jalan yaitu
darma, arta, kama, moksa.
Karya Sastra dan Prasasti Pada Zaman Kerajaan Kediri
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya adalah:
a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M
Menjelaskan kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala
Menjelaskan kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M
Menjelaskan Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang memiliki arti Kediri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui jika Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Menjelaskan Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang memiliki arti Kediri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui jika Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kediri. Pada
tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan
oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi
kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya
atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan
Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri
Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana.
Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu
Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis
Kresnayana.
Di samping kitab sastra maupun prasasti di atas, juga ditemukan berita
China yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan
pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita
Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang
ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis
oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M
5. Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya
KEHIDUPAN EKONOMI
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapalkapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Faktor- yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut.
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Dalam bidang agama, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah aliran Mahayana dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti.
RUNTUHNYA KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
Sejarah Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar yang terletak di pulau Sumatera
tepatnya Sumatera Selatan (Sumsel) dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.
Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan
wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya
bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai
keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.
![]() |
Kerajaan Sriwijaya |
Pada awalnya Sriwijaya hanya kerajaan kecil. Sriwijaya
berkembang menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang.
Dapunta Hyang berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m), Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230). Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).
Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
Isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut:
Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan.
Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m), Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M), Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230). Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).
Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
Isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut:
Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya
KEHIDUPAN EKONOMI
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapalkapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Faktor- yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut.
- Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.
- Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India melalui Asia Tenggara.
- Runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.
- Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Dalam bidang agama, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah aliran Mahayana dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti.
RUNTUHNYA KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
- Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
- Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
- Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
- Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar